PCIM Tunisia - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Tunisia
.: Home > Berita > Mutiara Hikmah di Balik Hijrah Nabawiyah

Homepage

Mutiara Hikmah di Balik Hijrah Nabawiyah

Jum'at, 13-11-2015
Dibaca: 840

 

Oleh: Albirruni Siregar 


                 Hijrah sesungguhnya adalah momentum dan tonggak sejarah dari keberhasilan terbesar dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun sering kali kita terlena dengan ritual memperingati tahun baru hijriah dengan hingar bingar berkarnaval keliling kampung dan kota, menabuh bedug, menyalakan obor sembari bershalawat, akan tetapi kering kerontang dari pemahaman yang mendalam dan aplikasi yang realistis akan makna yang terkandung dari hijrah kubro yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah bersama sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq.

                Kita terlampau bahagia dengan perayaan seremonial, seakan-akan kita menganggap Islam kian hidup, berkibar dan bergelora dengan tradisi yang kita ciptakan, namun justru value daripada Islam itu sendiri nihil.

                Ditinjau dari sejarah, ternyata hijrah nawabiyah mengiringi peristiwa bi'tsah nabawiyah (pengutusan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulullah). Sebagaimana Syaikh Mutawalli Sya'rawi mengatakan bahwa sejarah hijrah itu tidak terjadi secara serta merta ketika hijrah itu physically taking place, akan tetapi sudah muncul cikal bakalnya ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus sebagai Rasul, yaitu bilamana Nabi bersama Siti Khadijah pergi menghadap Waraqah bin Naufal, lalu Nabi bercerita di hadapannya mengenai apa yang baru saja disaksikannya mengenai kabar wahyu, kemudian Waraqah mengatakan kepada Nabi: "Ini adalah perintah hukum (mission of law) yang Allah telah turunkan kepada Nabi Musa 'alaihissalaam, aku berharap semoga ada seorang pemuda yang mengusung misi ini, aku berharap aku masih hidup ketika umatmu mengusirmu. Rasul bertanya: "Apakah benar mereka kelak kan mengusirku?". Waraqah menjawab: "Ya, belum ada seorangpun yang datang dengan mengemban risalah seperti yang engkau terima ini, kecuali ia telah dimusuhi. Andai saja aku masih sempat mendapati hari-harimu, niscaya aku akan turut serta bersamamu untuk meraih kemenangan yang nyata.

                Peristiwa ini menjadi saksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima perintah hijrah ini tepat di saat ia menerima justifikasi bahwa ia telah diutus (mab'uuts) sebagai Rasul. Maka dapat disimpulkan bahwa misi hijrah itu muncul bersama dan tegak berdiri seiring dengan momentum bi'tsah diangkatnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, seakan Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin mengajarkan kepada kita bahwasanya bi'tsah  berawal dari di-launching-nya dakwah di Mekkah dengan metode dakwah dari telinga ke telinga hingga merata ke seluruh penduduk kota, akan tetapi proses kesuksesannya (practicing) berangkat dari kota Madinah, sehingga sinergi launch and  practice patut diwujudkan untuk menghasilkan output yang fantastis.

 

I. Inisiasi Bahasa pada Kata "HIjrah"

                Kalau kita tilik kembali kata "hijrah", maka akan kita dapati pada hakikatnya tidak uprooted dari kata "hajara" (dengan huruf "ha" pendek), namun dari kata "haajara" (dengan "ha" panjang yang dibaca 2 harakat). Ditinjau dari tafsir, haajara tidak sama dengan hajara, meskipun substansinya sama yaitu: berpindah, pindah dan meninggalkan. Lalu di mana titik perbedaan substansial dari dua kata identik ini? Syaikh Mutawalli Sya'rawi dalam ulasan tafsirnya mengatakan: kata "haajara" (dengan alif setelah "ha") tergolong kata yang ber-wazan ruba'i yang berpolakan "mufa'alah", dimana dengan form ini, maka orang yang berhijrah disebut muhajir, plural: muhajiruun/muhajiriin, bukan haajir atau haajiruun.

                Kata "haajara rasulullah" adalah kejadian perkara yang didorong oleh faktor di luar keinginan dari pelaku hijrah. Dalam hal ini Rasulllah melakukan hijrah bukan karena keinginannya sendiri untuk berhijrah, tapi sebagai reaktansi dari perlakuan orang lain kepadanya, yaitu kaum kuffar Makkah. Karena pada saat itu Rasulullah belum menguasai teritorial Makkah, sehingga desakan yang kuat dari kaum kuffar yang mendominasi memaksa Rasulullah untuk pergi dari kota Makkah. Bukan karena kebosanannya akan Makkah, bukan pula sebab kebenciannya akan negeri Mukarramah tersebut, akan tetapi karena mayoritas penduduk Makkah belum dapat memahami dakwah Nabi, sehingga luapan emosi mereka mengakibatkan nabi dan segelintir pengikutnya terluka oleh berbagai tindak laku yang mereka lancarkan. Tafsiran ini diperkuat oleh perkataan Rasulullah tentang Makkah: "Wallahi innaka lakhairun ardhillah wa ahabbu ardhillahi ilallah, walaw laa annii ukhrijtu minka maa kharajtu" ; "Sungguh engkaulah sebaik-baik bumi Allah dan tanah atau tempat berpijak yang teramat dicintai Allah. Andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu (=Makkah)" (Sunan At-Turmudzi, kitab al-manaqib, bab: fadhl Makkah).

 

 

II. Hikmah yang dapat Dipetik dari Hijrah Nabawiyah :

(i) Mendidik Orang-orang yang Beriman untuk Tangguh dalam Berdakwah di Jalan Allah

                Jalan dakwah ibarat mengarungi samudera. Bahtera yang kecil dengan hanya berlayarkan kain, tentu hanya mampu menghadapi hempasan ombak yang kecil, paling tidak besarnya ombak tidak melebihi tingginya kapal tersebut. Bahtera yang besar dan kokoh, tentu cukup tangguh menghadapi terpaan ombak dan gelombang dahsyat. Begitu pula dalam berdakwah, Rasulullah memerlukan "bahtera besar" untuk menguasai "samudera" Makkah dengan ancaman "gelombang dan ombak yang besar" yaitu para kuffar yang tiada henti mengancam keselamatan nabi dan para pengikutnya. Perlu spirit yang optimal untuk hasil yang maksimal.

                Spirit yang optimal itu diwujudkan oleh Nabi dengan cara hijrah. Hijrah itu bukan lari terbirit-terbirit karena ketakutan, hijrah itu bukan keluar dari arena pertandingan, tapi hijrah itu ibarat pemain sayap dalam sepakbola yang memanfaakan lebar lapangan, untuk menciptakan serangan balik yang mematikan.

                Di sini seakan Allah "berjual-beli" dihadapan Nabi:  wahai Muhammad, jika engkau hanya terus berkutat di Makkah, engkau akan mendapatkan hasil  yang biasa-biasa saja, bahkan jauh dari harapan. Umatmu hanya terbatas dalam hitungan jari. Engkau tidak akan pernah mampu menaklukkan dominasi kuffar yang terus menerus memerangimu. Jika engkau benar-benar mencintai negeri ini, maka hijrah lah, bangun kekuatan di negeri yang aman (=Madinah), lalu ketika sekiranya kekuatanmu sudah cukup tangguh, pulanglah ke negeri Makkah ini dengan kepala yang tegak. Bukankah bumi Allah itu luas?

(ii) Mengenali Sebab-Musabab dan Membangun Perencanaan yang Sempurna

                Al-Akhdzu bil asbab adalah kunci dari dilakukannya hijrah. Rasulullah telah mencoba cara berdakwah dengan sirran (=sembunyi-sembunyi), namun hasilnya tidak maksimal, menuai cacian dan ancaman. Maka sebab ketidaknyamanan inilah membuka "keran" ide hijrah sebagai solusi.

                Hijrah mengajarkan kepada kita untuk mengenali apa latar belakang dari suatu peristiwa, lalu bersiaplah untuk membangun perencanaan yang sempurna dengan langkah-langkah yang strategis, ide-ide yang brilian, dan rancangan-rancangan yang mumpuni untuk mewujudkan cita-cita yang didambakan.

                Sebagaimana sebuah ungkapan bijak: "man arafa bu'das safari ista'adda"; "Siapapun yang mengetahui seberapa jauh perjalanan, maka hendaklah ia mempersiapkan diri". Rasulullah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq tentu sebelum berhijrah sudah mengenali sejauh apa perjalanan yang akan ditempuhnya, seperti apa medan yang akan dilaluinya, seberapa banyak perbekalan yang harus dibawanya, berapa lama perjalanan itu akan dituntaskan, apa resiko yang sekiranya akan terjadi selama menapaki perjalanan tersebut, dan lain sebagainya, dari hal yang terkecil hingga hal yang paling rumit dipikirkan dengan matang sebelum langkah pertama dimulai.

(iii) Kadar Keagamaan Seseorang berbanding lurus dengan Sikapnya terhadap Qadrat Allah

                Ada hal yang menarik dari cara hijrah Rasulullah dan cara hijrah Umar bin Khattab. Nabi berhijrah dengan cara khufyatanyaitudengan carasembunyi-sembunyi, sedangkan Umar bin Khattab memilih cara 'alaniyatan mutahaddiyan yaitu dengan terang-terangan bahkan menantang.

                Umar bin Khattab terang-terangan mengajak muslimin untuk berhijrah dengan seruan: siapa dari kalian yang siap ibunya kehilangannya dan anak-anaknya menjadi yatim, maka ikutlah bersamaku. Umar bin Khattab ditakdirkan memiliki kepribadian yang kuat, menegakkan kebenaran dengan ketegasan, mengobarkan semangat dengan kemarahan, seakan-akan ia terlahir dari lingkungan preman, karena acap kali kegarangannya dijadikannya sebagai "senjata" untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar.

                Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih hijrah yang underground, bukan karena dirinya tidak lebih berani daripada Umar bin Khattab, bukan pula karena dirinya lemah menghadapi lawan, akan tetapi ia uswatun lidh-dhu'aaf, teladan dan panutan bagi kaum yang lemah, ia "mewakili" kaum yang dimarjinalkan. Sebagaimana ia kerap mengikatkan batu diatas perutnya dengan mengencangkan ikat pinggangnya ketika lapar, adalah sikap simboliknya yang berpihak pada kaum yang lemah.

                Prof. DR. Ridho Abdul Majid Al-Mutawalli Ibrahim, dosen tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Al-Azhar, Manshoura-Mesir mengatakan: "Memperhatikan dan mengukur kelapangan dan kemampuan diri adalah seutama-utamanya fitur Islam dan simbol-simbolnya, dan nushus syari'ah compatible dan mengakomodir itu semua".

(iv) Perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala

                Syaikh Sya'rawi menyitir kisah singgahnya Nabi bersama Abu Bakar di Gua Tsur untuk bersembunyi. Kaum kuffar yang sempat mengetahui ke mana arah Nabi berjalan menuju gua Tsur tersebut akhirnya terkelabuhi oleh tipudaya dari Allah berupa sarang laba-laba di mulut gua. Allah menciptakan sarang laba-laba itu tepat setelah Nabi bersama Abu Bakar memasuki gua dan berdiam di dalamnya. Kaum kuffar itu pun mengira: mana mungkin Muhammad berada di dalam gua ini tanpa merusak sedikitpun dari sarang laba-laba ini. Lalu mereka meninggalkan mulut gua itu, dan berpaling menjauh.

                Sarang laba-laba yang lemah itu menjadi bukti bahwa Allah menolong dan melindungi hambanya yang shalih dengan melakukan tipudaya yang masuk akal di hadapan orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya. Sebagaimana firmanNya: "Wa makaru wa makarallahu, wallahu khairul maakirin." ; "Mereka, orang-orang kafir, merancang tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Sesungguhnya Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (QS. Ali Imran: 54).

(v) Ma'iyyatullah dan Keyakinan setiap Mukmin

                Ma'iyyatullah menjadi poros solusi terhadap ketakutan, keputusasaan dan kesedihan yang melanda Abu Bakar ketika hijrah bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Bakar begitu sangat mencintai Rasulullah, sehingga tetesan air mata tak tertahankan meleleh membasahi pipinya, seraya ia berkata: andai mereka kaum kuffar itu mengetahui keberadaan kita di gua Tsur ini, habis sudah kebersamaan kita sampai di sini. Lalu Rasulullah menenangkan sang sahabat dengan berkata: "La Tahzan innallaha ma'ana"; "Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita". Diperkuat lagi dengan kata-kata Nabi: "Maa dzhannuka bi itsnaini, Allahu tsaalitsuhuma"; "Tidakkah engkau mengira jika kita berdua sekarang ini, Allah adalah yang ketiga?". Kata-kata ini lah yang membangkitkan kembali semangat juang Abu Bakar untuk melanjutkan agenda hijrahnya.

                Ma'iyyah adalah kebersamaan, maiyyatullah berarti kebersamaan dengan Allah. Syaikh Sya'rawi mengatakan: "Sebesar apapun permasalahan yang dihadapi, seberat apapun cobaan yang terjadi, maka satu hal yang harus kita yakini adalah Allah lebih besar daripada segalanya." Disinilah ma'iyyah itu menjadi spirit bahwa kita tidak sendiri menghadapi permasalahan yang ada, kita tidak sebatang kara menopang cobaan yang menimpa kita, ada Allah 'Azza wa Jalla yang menjadi " The Super Power" untuk bersama kita menyelesaikan segala perkara yang ada.

(vi) Al-Iitsar

                Iitsar dalam terminologi berarti altruism, yaitu menjadikan dirinya sebagai tebusan terhadap orang lain tanpa mengharap kompensasi. Lebih tepatnya mengutamakan keselamatan orang lain daripada keselamatan dirinya sendiri.

                Selama perjalanan hijrah dari Makkah ke Yatsrib/Madinah, Abu Bakar sesekali berpindah-pindah posisi mendampingi Rasulullah. Sesaat ia berada di belakang Rasulullah, sesaat kemudian ia berada di samping berjalan seiring dengan Rasulullah. Melihat gerak-gerik Abu Bakar yang tidak lazim ini, Rasulullah pun bertanya: "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau berjalan sesekali berada di belakangku, dan sesaat kemudian ada di sampingku?". Abu Bakar menjawab: "Wahai Rasulullah, kalau aku teringat orang-orang yang mengejar-ngejar kita, aku berjalan di belakangmu, dan ketika aku teringat akan pengintai, maka aku bergegas berjalan di sampingmu."

                Ketika tiba di gua Tsur, Abu Bakar tidak serta merta mempersilakan Rasulullah memasuki gua tersebut, namun ia masuk terlebih dahulu, menutup lubang-lubang yang memungkinkan ular, kalajenking, laba-laba dan sejenisnya masuk ke dalam gua. Abu Bakar menyisir keadaan di dalam gua hingga ia memastikan tiada hal yang membahayakan keselamatan Rasulullah.

                Al-Iitsar hanya dapat tumbuh dari pribadi yang shalih, yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ditambah dengan keimanan yang tebal. Sikap Al-Iitsar yang dipraktekkan oleh Abu Bakar bukan untuk "cari muka", bukan untuk tujuan "ABS" (=Asal Bapak Senang), bukan pula untuk "pencitraan" yang kerap diperagakan oleh para pejabat teras di republik kita. Al-Iitsar yang ada pada diri Abu Bakar tumbuh dari rasa cinta yang luar biasa terhadap Allah dan Rasul-Nya, seakan ia berkata pada dirinya: "Biarlah tubuhku ini yang merintih oleh sengatan kalajenking, patukan ular berbisa dan racun lebah dan laba-laba, asalkan bukan engkau wahai Rasulullah yang menderita. Biarlah aku menjadi tameng yang melindungimu dari dera dan marabahaya, asalkan engkau selamat dari perih luka dan nestapa."

                Subhanallah, betapa mulia perangai Abu Bakar ini, tampaknya tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menandingi rasa cinta Abu Bakar terhadap diri sang Khatamul Anbiya'.

III. Hijrah Menjadi Titik Balik Kebangkitan Muslimin

                Ketika Rasulullah telah berdomisili di Madinah, mulailah ia merajut kembali masyarakat Islam yang bersatu, yang bertamaddun dengan akhlakul karimah bahu membahu membangun komunitas yang kuat dan persaudaraan yang rekat satu sama lainnya, meleburkan ego kesukuan dan hizbiyyah menjadi ukhuwwah islamiyyah yang solid.

                Setelah masyarakat madani itu terwujud, Rasulullah membangun kekuatan dengan mengadakan perjanjian dengan Yahudi yang merupakan bagian dari penduduk Madinah pada saat itu. Hal itu tercium oleh kaum kuffar Quraisy, sehingga mereka menganggap kaum muslimin telah menjadi ancaman bagi kemaslahatan dan hambatan bagi perdagangan mereka menuju negeri Syam.

                Di tengah kepanikan yang menghantui mereka, Rasulullah mengambil kesempatan dari diadakannya perjanjian antara mereka kaum kuffar Quraisy dan Muslimin penduduk Madinah, yang mana justru perjanjian itu menjadi cikal bakal terjadinya Fathu Makkah, suatu momentum berkibarnya kejayaan Islam.

IV. Kalender Hijriyah sebagai Turning Point Kebangkitan Dakwah Islam

                Adalah Umar bin Khattab RA yang mencetuskan ide kalender hijriyah sebagai penanggalan tahun qamariyah yaitu sekira tahun ke-17 atau 18 setelah hijrah. Akan tetapi penetapan dimulainya awal kalender hijriyah bukan berdasarkan masa berlangsungnya hijrah, namun pada tahun terjadi di dalamnya peristiwa hijrah, dengan diawali dengan bulan Muharram.

                Mengapa ditetapkan penanggalan tahun Islam berdasarkan peristiwa hijrah bukan based on bi'tsah (=momentum dimana diutusnya Muhammad sebagai Rasul) atau maulud nabi?

                Karena momentum hijrah adalah momentum turning point kebangkitan dakwah Islam meraih kejayaannya,  dan agar umat Islam mengingat dan meneladani effort Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para sahabat yang men-support dakwahnya. Sedangkan bila didasarkan pada bi'tsah atau maulud nabi, dikhawatirkan akan terjadi pengkultusan terhadap nabi dan tasyabbuh (=meniru-niru) kelompok atau agama lain. [red]

               

                 

 

 

 

               

               

 

               

 

 

 

 

 

 

 


Tags: PCI Muhammadiyah Taiwan, PCI Muhammadiyah Mesir
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Buletin jum`at



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website