PCIM Tunisia - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Tunisia
.: Home > Berita > Kepandaian yang Hakiki

Homepage

Kepandaian yang Hakiki

Jum'at, 29-04-2016
Dibaca: 1553

Oleh : Ulung Partajaya,Lc

Melihat fenomena problematika negara kita saat ini, kita sepakat bahwa berbagai permasalahan yang timbul tersebut bukan dikarenakan kurangnya orang-orang pandai yang duduk sebagai pemangku kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi dikarenakan para oknum di pemerintahan tersebut adalah orang-orang pandai ‘gadungan’. Mungkin sebutan ini terdengar ‘sadis’ dan ‘sok, namun begitulah istilah yang mungkin bisa diberikan kepada mereka. Realita yang terjadi, orang –orang pandai ‘gadungan’ ini hanya mementingkan pribadi dan dunianya tanpa memikirkan orang lain dan akheratnya. Sehingga segala perbuatan, keputusan dan perilakunya cenderung merugikan negara dan rakyat. Lalu bagaimanakah untuk menjadi seorang pandai yang hakiki sehingga terlepas dari predikat ‘pandai gadungan’?

Didalam islam, kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang walaupun IQ nya tidak tinggi, karena standar dan parameter kepandaian dalam islam bukan dilihat dari IQ ataupun prestasi keduniaan yang diraih.

Rasulullah bersabda: “orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ini adalah hadit hasan).

Suatu hari Abdullah bin Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, “mukmin manakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.”

Dari dua hadits diatas dapat disimpulkan bahwa adanya 3 (tiga) parameter orang yang pandai menurut Rasulullah, yaitu: (1) Orang yang muhasabah diri (mengevaluasi) (2) melakukan persiapan dengan segala amal kebaikan untuk kehidupan akheratnya (3) banyak mengingat mati.

1. Muhasabah berarti melakukan perhitungan atau evaluasi. Dalam terminology syar’i mempunyai pengertian sebuah upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya. Baik yang bersifat vertikal hubungan manusia sebagai hamba dengan Allah sebagai pencipta (hablum minallah). Maupun secara horizontal, yaitu hubungan sesama manusia dengan  lainnya (hablum minanas) dalam kehidupan sosial.

Alquran menyuruh kita untuk senantiasa bermuhasabah ( al hasyr 18)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha megetahui apa yang kamu kerjakan”.

Sahabat umar Ra. Berkata:

“Hisablah (evaluasi) diri kalian sebelum dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari ‘ardl akbar(yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”

Pernyataan sahabat Umar ini bermakna bahwa, semakin kita sering melakukan evaluasi  atau muhasabah maka semakin lebih sering kita memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh Karena itu, hisablah diri dan amal kita secara berkala, bisa dilakukan perhari, perminggu, perbulan bahkan pertahun.

Ada beberapa manfaat/faedah dan keistimewaan dari muhasabah bagisetiap orang yang beriman, yaitu:

a) Dengan bermuhasabah diri, maka setiap orang akan bisa mengetahui aib serta kekurangan dirinya sendri. Baik itu dalam hal amalan ibadah atau kegiatan yang memberikan manfaat untuk orang banyak. Sehingga dengan demikian akan bisa memperbaiki diri dari apa-apa yang dirasa kurang pada dirinya.

b) Dalam hal ibadah, kita akan semakin tahu akan hak dan kewajiban kita sebagai seorang hamba dan terus memperbaiki diri serta mengetahui hakekat ibadah yang sesunguhnya, bahwasanya manfaat dan hikmah ibadah hanyalah untuk kepentingan kita sendiri bukan untuk kepentingan Allah Taala. Karena kita lah manusia yang lemah dan penuh dosa yang memerlukan pengampunan atas dosa-dosa kita tersebut.

c) Mengetahui akan segala sesuatu (baik itu kecil maupun besar) atas apa yang kita lakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Sehingga kita akan ngeh  lebih dini dan berusaha untuk memperbaikinya.

d) Membeci hawa nafsu dan mewaspadainya, senantiasa melaksanakan amal ibadah serta ketaatan dan manjauhi segala hal yang berbau kemaksiatan, agar menjadi ringan hisaban di hari akherat kelak.

Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akherat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates salah seorang milyuner dunia, selalu menyempatkan diri untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam perkembangan software.

2. Perbanyak amal untuk bekal

Setelah bermuhasabah atau evaluasi adalah action after evaluation. Artinya setelah evaluasi itu harus adanya aksi perbaikan. Hal ini tersiratkan dari hadist diatas “beramal  untuk kehidupan sesudah kematian” setelah disebutkan muhasabah pada sebelumnya. Karena sebuah evaluasi atau muhasabah menjadi tidak berarti apabila tidak dilanjutkan dengan aksi perbaikan.

Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planning perencanaan untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi di alam akherat kelak.

Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh sebagai bekal akheratnya.

3. Banyak mengingat mati

Hidup didunia tidak selamanya, hanya sebagai ‘abiru sabil’ atau kelana yang akan datang masanya dia harus kembali.

“setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan” (Qs.Al-Anbiya: 35)

“Dimana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”(An-Nisa: 78)

Orang yang memikirkan kematian dengan segala kaitannya, kemudian berusaha mempersiapkan diri untuk menjemput kematian itu, maka itulah termasuk orang yang yang pandai. Dan sebaliknya, orang yang tidak pernah memikirkan tentang kematian dan tidak mempersiapkan diri menghadapi kematian bisa dikatakan sebagai orang yang lemah/bodoh.

Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Oleh karena itu, Rasulullah senantiasa mengingatkan umatnya untuk mengingat mati.

“perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian)”(H.R. Tirmidzi)

Beberapa manfaat atau faedah mengingat mati:

a. Mengingat kematian adalah termasuk ibadah tersendiri, dengan mengingatnya saja seseorang telah mendapatkan ganjaran karena inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah, Muhammad Saw. Dalam hadistnya

b. Mengingat kematian membantu kita lebih khusu’ dalam shalat. Nabi bersabda:

“ingatlah kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan shalat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang kelak malah engkau meminta uzur (meralatnya) (karena tidak bisa memenuhinya)”. (HR. Ad Dailami dalam musnad al Firdaus. Hadist ini hasan menurut Syaikh Albani)

c. Mengingat kematian menjadikan seseorang semakin mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Karena barang siapa mengetahui bahwa dia akan menjadi mayat kelak, pasti dia akan berjumpa sang pencipta kelak, dia akan ditanya tentang amal nya di dunia, maka dia akan mempersiapkan jawabannya ketika di dunia.

d. Menurut Imam Qurtubi, mengingat kematian membuat orang akan menyegerakan taubat, hatinya qonaah dan semangat dalam ibadahnya sedangkan kebalikannya bagi orang yang melupakan kematian, dia akan menunda-nunda taubatnya, tidak ridho dan mersa cukup terhadap apa yang Allah berikan dan bermalas-malasan dalam ibadah.

Demikianlah sekilas mengenai kepandaian yang hakiki, semoga kita termasuk orang-orang yang benar-benar pandai duniawi dan ukhrowi, tidak termasuk orang-orang pandai ‘gadungan’ yang kelak dia akan menjadi golongan yang merugi di akherat. Wal iyazu billah[red].

Wallahu a’lam bishowab

 

 

 


Tags: PCI Muhammadiyah Taiwan, PCI Muhammadiyah Turkey, PCI Muhammadiyah Mesir
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Buletin Jumat



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website