PCIM Tunisia - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Tunisia
.: Home > Berita > Hukum Islam Tentang Harta Gono Gini

Homepage

Hukum Islam Tentang Harta Gono Gini

Jum'at, 27-11-2015
Dibaca: 1156

Oleh : Alfriandi Septiawan,SHi

 

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya,baik pada manusia,hewan maupun tumbuh-tumbuhan .Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. Sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembangbiak,dan melestarikan hidupnya.Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan nya yang positif dalam mewujudkan pernikahan itu sendiri.

Ahli hukum islam Tihami, dan Sohari Sahrani berpendapat bahwa salah satu tujuan pernikahan yaitu Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh memperoleh harta kekayaan yang halal.

Peran suami dalam suatu keluarga berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak nya baik berupa pangan, sandang, papan (makanan,pakaian, dan tempat tinggal yang layak ) yang bisa disebut dengan harta.

Harta  adalah segala sesuatu yang dapat disimpan unutk digunakan ketika dibutuhkan.Sementara menurut Hasbi Ash-Shiddieqiy yang dimaksud dengan harta adalah :

1.Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.

2.Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setia manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.

3.Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan

4.Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai ( harga )

5.Sesuatu yang berwujud

6.Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu lama atau sebentar dan dapat diambi manfaatnya ketika dibutuhkan.

Jadi dapat disimpulkan harta adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga.

Pada  masyarakat Indonesia sudah menjadi sesuatu yang mengakar dalam budaya dan adat bahwa hasil pencaharian yang didapat dalam masa perkawinan dipandang sebagai harta bersama suami istri. Hal ini merupakan konsekuensi dari terjadinya akad nikah. Semua harta yang dihasilkan oleh pihak suami Istri telah menjadi milik bersama tanpa melihat kepada besar-kecilnya pendapatan bahkan dalam keadaan tidak adanya penghasilan salah satu pihak. Tidak ada pemisahan antara harta suami dan harta istri. Harta Pencaharian suami bercampur dengan harta hasil pencarian istri.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta bersama atau harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan.

Pasal 119 KUHPerdata menyatakan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Jadi hukum perkawinan dan KUHPerdata mengenai asas persatuan/ pencampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh penyimpangannya. Harta kekayaan bersama terdiri:

1.Aktiva, yang meliputi modal, laba/keuntungan serta bunga dari barang yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya juga termasuk yang mereka peroleh sebagai hadiah dari pihak ketiga, kecuali bila mana ada larangan hadiah/hibah itu dimasukkan dalam persatuan harta kekayaan.

2.Pasiva, yang meliputi hutang-hutang suami isteri yang dibuat sebelum maupun sesudah perkawinannya. Harta kekayaan di dalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun juga selama perkawinan. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga atau para kreditur.

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya.Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri, mempunyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.

Harta bersama dalam islam lebih identik diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadah yang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas. Meskipun gono gini tidak diatur dalam fikih islam secara jelas, tetapi keberadaan nya, paling tidak dapat diterima oleh sebagian ulama Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak suami istri, dalam masyarakat Indonesia, sama –sama bekerja, berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta untuk simpanan ( tabungan ) masa tua mereka. Walaupun demikian:

1.Suami berhak untuk membatasi dan mengakhiri pekerjaan istrinya bila perlu

2.Dia berhak melarang pekerjaan yang dirasanya akan menjerumuskan istrinya    kepada kejahatan, kesesatan atau penghinaan.

3.Istri berhak berhenti dari pekerjaannya kapan saja.

4.Setiap pendapatan yang diperoleh istri adalah milik keluarga bukan milik pribadi istri.

Bila keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anak-anak sesudah mereka meninggal dunia.

Pencarian bersama itu termasuk kedalam kategori syirkah mufawwadah, karena perkonsian suami istri itu tidak terbatas. Apa saja mereka yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut.

Imam Syafi’I tidak membolehkan perkongsian kepercayaan ( sebagai ganti modal, karena pengertian syirkah menghendaki pencampuran modal. Sedangkan perkonsian tenaga dan kepercayan tidak ada modal. Oleh sebab itu, kedua macam perkoongsian yang tidak bermodal ini tidak sah.Ulama mazhab Hanafi menolak alasan Imam Syafi’I dengan mengemukakan alasan sebagai berikut.

a.Perkongsian tenaga dan kepercayaan sudah umum dijalankan orang dalam beberapa generasi,tanpa seorang pun yang membantahnya.

b.Baik perkonsian tenaga maupun kepercayaan sama-sama mengandung pemberian kuasa, sedangkan pemberi kuasa hukum nya juga diperbolehkan.

c.Adapun alasan Imam Syafi’ yang mengatakan bahwa perkongsian diadakan untuk mengembangkan harta sehingga harus ada modal yang berupa harta, yang akan dikembangkan oleh Mazhab Hanafi dikatakan bahwa perkonsian tenaga dan kepercayaan diadakan bukan untuk megembangkan harta, tetapi untuk mencari harta.

Namun jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai?

Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang memerintahkan didalam nusus ( Alquran dan Hadist nabi ). Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan:

Pertama, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri Yaitu hasil kerja suami diketahuisecara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahuidengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininyasangat jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.

Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri

Sebagai contohnya suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.

Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha (putusan).

Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:

Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)

Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).

Berdasarkan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Auf al-Muzani, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Ditempuh dengan cara perdamaian antara pasangan suami istri yang sah.

Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada perdamian antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing. Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten yang kuat. Namun jika pasangan suami istri sepakat membagi harta dengan pembagian tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan. Atau ada cara penyelesaian yang dilakukan oleh pasangan suami istri tersebut yang mungkin berpedoman kepada kebiasaan kebiasaan adat yang tidak bertentangan dalam hukum islam. Kebiasaan tersebut yang dilakukan masyarakat tersebut dikenal dengan sebutan urf.

Urf , merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf  bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,

العادة محكمة

“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”

Dengan syarat:

1.‘Urf itu berlaku umum.

2.Tidak bertentangan dengan nash syar’i.

3.‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.

4.Tidak berbenturan dengan tashrih.

Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam.

Qadha , jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi seperti ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam. Wallahu a’lam bissowab.[red]


Tags: Pci Muhammdiyah Taiwan, Pci Muhammdiyah Mesir
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Buletin Jum`at



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website